PERGERAKAN KEBANGSAAN

JAWA BARAT

PERGERAKAN KEBANGSAAN

ORGANISASI PEKAT INDONESIA BERSATU  

SEBAGAI 

BENTENG IDEOLOGI PANCASILA 

Oleh : Idramsyah B. Arief


Pendahuluan


Idiom politik, ”kebangsaan”, setiap bangsa memiliki kebangsaan (nationality), artinya universal atau berlaku umum; begitu pula di dalam organisasi PEKAT Indonesia Bersatu menganggap, bahwa yang universal senantiasa menyisakan bagian penting lainnya yaitu partikularitas dalam hal mana idiom itu bermakna pada nilai-nilai budaya nasional yaitu Pancasila. Hanya nilai-nilai nasional yang dieksplorasikan yang akan bermakna terhadap tujuan kemerdekaan Indonesia untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kebangsaan Indonesia hanya termaknai oleh Pancasila, tiada lain.

Fakta ketimpangan ekonomi negara-negara di dunia, kesenjangan sosial politik antara negara-negara terbelakang dan negara maju, dan kerenggangan budaya akibat hegomoni superioritas kebudayaan suatu negara adalah wajah dunia dewasa ini dimana Indonesia menjadi bagian daripadanya serta memiliki tanggung jawab moral dan kejuangan atas penciptaan ketertiban dunia. yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam pada itu posisi Indonesia baik secara geopolitik dan geostrategis khususnya di dalam menghadapi rongrongan politik, ekonomi dan budaya yang datang dari luar karena instabilitas akibat dari pertumbuhan politik dalam negeri yang demikian cepat maka perlu dengan cermat dan seksama menelaah perkembangan eksternal seraya menyiagakan  diri dan mengkritisi pertumbuhan internal baik di dalam pendidikan maupun pergerakan kebudayaan pada umumnya.

Maka ketimbang terpana pada kemegahan suatu kebudayaan negara tertentu (ourward looking) jauh lebih bermanfaat mengkaji dan merenungi diri (inward looking), karena menelaah ke dalam diri atau berkontemplasi adalah elemen dari kebenaran epistemologis dan di dalam dirilah Kebenaran ontologis itu bila hendak didekati, maka demikianlah Sila Pertama Pancasila -- Ketuhanan Yang Maha Esa -- merujuk pada nilai universal tetapi tetap setia pada diri (hati), pada tradisi.

Terdapat diagram analitis ideologis terhadap segala fenomena dan gejolak perubahan yang dihadapi bangsa dewasa ini yang dapat dicermati, dipelajari dan diajarkan. Soal pembelajaran yang dimaksud tentu berawal dari pucuk pimpinan bangsa dan negara saat ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Atau dapat pula bermula dari pucuk-pucuk pimpinan lembaga tinggi dan pimpinan kabinet, ataupun anggota legislatif yang sering ”mbalelo” karena suatu pembelajaran harus beranjak dari yang nyata, faktual, bukan dari dari mengambil jarak tetapi terlibat di dalamnya.

 

Konsep Pergerakan Kebangsaan


Terdapat empat konsep dasar yang merupakan elemen pergerakan kebangsaan organisasi PEKAT Indonesia Bersatu yang senantiasa menyertainya, yaitu mengenai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika.

Dalam persoalan elaborasinya yakni antara yang prinsip dan manifestasi di dalam pergerakan PEKAT Indonesia Bersatu yang simbiosa mutulistis mau tidak mau akan menempatkan sesuatu yang absolut, yang prinsip, yang esensi yakni Pancasila yang di dalam, dan di puncaknya terdapat Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, karenanya menjadi isi pengetahuan (cognitive content) yang sertamerta ditempatkan sebagai substansi pergerakan kebangsaan PEKAT Indonesia Bersatu. Adapun yang lainnya adalah manifestasi, dan bagaimana nafasnya pada pertumbuhan bangsa dan negara adalah ada di dalam tujuan negara yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan Berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawarahan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Konsep dasar berkebangsaan yang dimaksudkan organisasi PEKAT Indonesia Bersatu adalah Wawasan Berkebangsaan yang dioperasionalkan oleh pemimpin bangsa Indonesia dewasa ini.  Pancasila sesuatu yang absolut, yang prinsip karena di dalamnya terdapat Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengenai UUD ’45 untuk kondisi dewasa ini adalah dilemmatis pada konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia mengingat adanya kekuasaan pemerintah pusat dan kekuasan pemerintah daerah dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004. Sedangkan dalam konsep Bhineka Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi satu -- selain bahwa Bhineka Tunggal Ika itu adalah warisan atau pusaka bangsa maka ke-Bhineka Tunggal Ika-an secara instrinsik bersifat mengatasi (transenden) dan bukan perbedaan untuk perbedaan itu sendiri.

 

Pandangan Bangsa Terhadap Dunia


Bangsa Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa sebetulnya telah cukup untuk menjelaskan apa artinya Pancasila, sebagai jiwa, falsafah dan atau pandangan hidup. Mengenai pengertian berperikehidupan Pancasila itu tersebar di dalam berbagai tradisi, ritual, seloka yang senantiasa menyertai prosesinya dan yang melekat Berketuhanan Yang Maha Esa di dalamnya. Ia tampil di dalam praktek, bukan di dalam kerangka konsep, ketika dijelaskan  tentu diwacanakan secara filosofis dan begitu pun dalam pengartikulasian terhadap tradisi itu sendiri tidak terlepas dari pemahaman atas simbolisnya. Demikian bila pengertian tentang jiwa, falsafah dan pandangan hidup bangsa bila hendak dijelaskan, dimana pembilahannya memiliki mode masing-masing sesuai istilah ”jiwa”, ”falsafah” dan atau ”pandangan hidup”,  secara langsung atau partisipasif maupun mengambil jarak dengan cara abstraktif .

Di dalam beragama dan bertradisi selalu bertemu dengan dogma yaitu tentang Berketuhanan Yang Maha Esa yang dengannya diturunkan doktrin agar yang Berketuhanan Yang Maha Esa itu dioperasionalkan sesuai menurut metodanya pula, yang memunculkan berbagai cabang di dalam agama dan tradisi. Jalan berpenghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan dengan cara keimanan dan pengetahuan, segalanya dengan keyakinan dan kepahaman tetapi jelasnya bukan dengan keragu-raguan -- skeptisisme empirik dalam ilmu pengetahuan dan agnotisme dalam keberagamaan. Seperti pada bangsa Jepang, tradisi mentransendensikan sains (science) dan teknologi, begitu pula pada bangsa Cina bahwa dengan keyakinan tradisi maka elastisitas kebudayaannya mampu menstransendensikan sosialis - komunisme sebagai jalan demokrasi kerakyatan bagi persatuan, kesatuan dan ketangguhannya, maupun kekukuhan doktrin ideologis bangsa Cina setelah ambruknya komunisme Uni Soviet. 


Pertama-tama tradisi, baru keberagamaan mengambil tempat di dalamnya. Skemanya bermula dari tradisional, lokal setelah itu universal; dapat pula bahwa bermula dari diri setelah itu terhadap dunia, seperti pandangan kosmologi tradisional yang diartikulasikan pada setiap paham keagamaan yang silih berganti membumi dan yang telah membawa kejayaan kerajaan-kerajaan di nusantara. Oleh sebab itu penolakan tradisi terhadap komunisme pertama karena tesisnya yang merusak keseimbangan kosmologis dan kedua seperti penolakan Tan Malaka terhadap sikap komunisme internasional yang lalu mengedepankan kekuatan Islam di Indonesia, begitu pun Mao Tse Tung dengan kekuatan revolusi petaninya -- mirip dengan dokrin Marhaenisme Bung Karno yakni petani yang memiliki modal, mandiri, bekerja demi berkah bagi diri dan keluarganya dan bukan orang upahan atau proletar menurut sistem pembagian kerja dalam komunisme. Petani dan pekerja dalam sitem tradisi atau kasta adalah mulia.

Diatas hanya untuk memperlihatkan adanya penolakan, baik dalam moda tradisi dan agama serta hasil pemikiran tokoh-tokoh pendiri bangsa. Tapi sesungguhnya akar persoalannya terdapat di dalam dogma ilmu pengetahuan sebagaimana berkembang di Barat yang telah mendistorsi kebenaran ontologis sejak zaman Renaissance, yakni keterpisahan agama dengan ilmu pengetahuan. Ilmuwan Ernst Cassirer, guru besar filsafat Universitas Hamburg mencela instrumen pemikiran Copernican -- Copernicus tokoh Renaissance memperkenalkan sistem heliosentris namun instrumen pemikiran itu merambah hingga ke lapangan antropologi -- dengan agnotisme filosofis dan skeptisisme filosofis.  Inspirasi zaman Renaissance pada abad ke 16 yang memicu Revolusi Perancis itu dan yang gaungnya mencanangkan kemerdekaan negara-negara kebangsaan pasca Perang Dunia ke 2 dikritisi pula oleh Frithjof Schuon -- seorang metafisikawan pada bukunya Islam dan Filsafat Perenial yang diberi pengantar oleh Seyyed Hossein Nasr ia diperkenalkan dengan nama Muhammad Isa Nuruddin -- mewaspadai pertumbuhan ideologi progresif yang profan -- karena pemisahannya dengan agama (kesucian) dan bertumbuh atas semangat Promothean atau Titanisme dari mitologi Barat. Maka bila ilmuwan yang beragama seperti Ernst Cassirer yang penganut paham Neokantianisme menawarkan pemikiran abad pertengah hingga Plato, namun Frithjof Schuon mengelaborasinya dalam tradisi melalui Filsafat Perenial tempat dimana inspirasi Illahiah itu bersemayam.

Bahwa Copernicus membuktikan pergerakan bumi mengitari matahari, bukan sebaliknya bahwa matahari yang beredar mengitari bumi, seperti dogma tradisi dan agamis pada waktu itu. Memang betul bahwa tradisi dan agama memandang kemuliaan kedudukan manusia (homosentris) tetapi bukan lantas berarti harus menghukum mati Copernicus yang tentu saja berakibat fatal, kalangan ilmuwan hengkang meninggalkan agama dan sejak itu pemisahan agama dengan ilmu pengetahuan terjadi. Kendati hingga dewasa ini penyatuan jalan dengan keimanan dan jalan dengan pengetahuan untuk bertemu Kebenaran terus diupayakan namun seperti disinyalir Schuon bahwa mitologi Promothean atau Titanisme Yunani yang mempengaruhi watak penguasa dan pemimpin Barat dimana dewa-dewa ”kerjaannya” melulu menghukum manusia-manusia karena dosa-dosanya; lalu keonaran demi keonaran yang dibuat pemimpin Barat yang agaknya perlu orang seperti Hercules yang adalah juga dewa untuk menertibkan dewa-dewa yang congkak dan durjana; sesuatu yang muskil dipahami orang-orang Timur sebut saja Iran yang memahami betul Kebenaran berdasarkan intelek misalnya. Atau sebut pula mitologi Sun Go Kong yang kendati berbuat onar di langit lalu merubah buku suratan takdir, yang mengingatkan umat Islam terhadap Lauh Mahfudz bahwa suratan takdir di dalam kitab suci yang tidak tersentuh itu mampu dirubah dalam ibadah pada nisfhu Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban). Jadi pada satu sisi bahwa hanya dewa-dewa dengan kecongkakannya dan lagi pula hanya dia yang ditugasi menertibkan dunia serta menghukum mereka-mereka yang berdosa, sementara pada sisi lain orang-orang Timur sadar betul bahwa kesucian dan berkah itu berlangsung secara partisipasif, ada bagian dari kehendak serta upaya manusia di dalamnya.

Musyawarah dan mufakat yang oleh para Pendiri Bangsa (The Founding Fathers) diyakini sebagai bentuk asli kebudayaan Indonesia dan kemudian diwujudkan menjadi bentuk demokrasi ala Indonesia yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, tampaknya tidak jauh berbeda dengan semangat demokrasi Islam yang ditawarkan Muhammad Iqbal. Filsuf Pakistan itu  menawarkan bentuk musyawarah atau kesepakatan ulama (Ijma) sebagai sistem pengambilan keputusan demokratis dalam Islam, sekaligus memberikan alternatif atas demokrasi Barat yang menurutnya ”menghitung kepala orang” bukan ”menakar isi kepala seseorang”; ada orang yang memiliki keunggulan bahkan terbaik diantara sesama mereka yang sepantaran (Primus Inter Pares). Ijjtihad  atau kebebasan berpikir yang mengungkung umat setelah ”kematian” falsafah akibat serangan Al Gazali terhadap Ibnu Rusyid yang tampaknya menjadi keprihatinan Iqbal sehingga ia meyakini otoritas tradisional tersebut mampu mengatasi sektarianisme serta membangunkan spirit Islam sebagai jalan keselamatan (aslama). DR. Supomo, anggota BPUPKI (Badan Pemeriksa Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar, menjelaskan musyawarah dan mufakat sebagai semangat kebatinan bangsa Indonesia penyatuan mikrokosmos (Arab, alam sagir) dan makrokosmos (Arab, alam kabir)

Spiritualitas, itu esensinya sehingga dunia bentuk-bentuk tercerap di kedalamannya. Komunisme -- kendati telah bangkrut -- dalam penanganan Tan Malaka, Mao Tse Tung dan Bung Karno dikembangkan ditengah cahaya tradisi -- dialektika materialisme yang mendapat inspirasi Illahiah menggugat tesis kaum materialis dan mendapat imbuhannya dengan spiritualisme. Pada kasus lain, sosialisme dalam Islam menurut pandangan HOS Cokroaminoto adalah pergerakan Islam Indonesia yang sebandingkan dengan Ikhwanul Muslimin yang selalu menentukan dan yang kini semakin menguat posisinya dalam peta politik Timur-Tengah -- sama-sama bersuara terhadap kebangsaan kendati Pan Islamisme yang dahulu pernah disebut-sebut itu sendiri masih potensial.

 

Pergulatan Sejarah Posisi Silang Indonesia


Bila bumi nusantara mampu membuktikan bahwa ”dirinya” adalah berkah itu sendiri maka tidak akan pernah ada sejarah dan tuturan tentang Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit maupun Kesultanan Islam pada Indonesia. Lagi pula bumi nusantara ini memberkahi pendatang terakhir yaitu tentara Portugal, pedagang Belanda dan Inggeris serta missionaris dari Jerman sehingga agama Kristen menjejak pula. Masing-masing ada sejarah (history) dan tuturannya (story).

Berkah itu turun melalui tuturan, terhadap para wali, orang-orang keramat atau mereka yang diberkahi, karuhun (Sunda, arwah leluhur), pendeta-pendeta, termasuk tokoh supranatural lainnya, yang khususnya yang dilakukan dalam ritual atau partisipasif, yang biasa terdapat dalam seni-seni tradisi, padepokan, dan peguyuban kewaskitaan lainnya; yang bagaimana pun terkait dengan mitos-mitos. Terlepas dari paradoks atau lebih tepatnya dilemma yang muncul ketika diperbincangkan secara akademis, memiliki keuntungan paling tidak dengan sifat dan tujuan untuk mempersatukan manusia dan alam dalam keseimbangan. Sebaliknya sejarah, yang semakin jauh tergantung pada data yang kemudian mengerangka dalam dialektika historis akan semakin memudarkan pandangan di dalam melihat kebenaran-kebenaran yang telah dipraktekkan turun-temurun dari generasi ke generasi. Tanah air atau tanah leluhur hanya dapat dilihat dalam kerangka religius, dimana penurunan, pewarisan atau pemberian berkah itu berlangsung. Satelit Palapa terinspirasi dari sejarah untuk membangkitkan sentimen kultural, melestarikan mitos demi berkah dari sakralnya.

Sumpah Palapa dari Gajah Mada mencuat tatkala M. Yamin dengan gagasan Indonesia Raya menghantarkan mitologi Mahapatih dari kerajaan Majapahit itu ke tengah kazanah sejarah bangsa. Perspektif sejarah nusantara semakin terkuak dari tuturan yang mitologis simbolik memasuki dunia pustaka yang diskursif. Namun demikian corak kesejarahan nusantara dalam ciri kesatuannya mengukuhkan sistem negara kesatuan dalam nusantara modern atau Indonesia, paralel dengan mitologi nusantara itu sendiri.

Antara penguasaan dan pengaruh tidak selalu sama, menimba nilai sejarah penyatuan nusantara, bahkan adalah ciri sejarah kerajaan-kerajaan di nusantara sendiri. Bandar Malaka dan yang sekarang Singapura menjadi saksi atau arketipe sejarah tentang penguasaan dan pengaruh. Dimana tentang yang pengaruh ada lebih dahulu, menyusul tentang penguasaan setelah kedatangan pedagang dan serdadu Portugal. Imperialisme Barat dan karena memang wataknya sebagai bangsa penakluk sebagaimana Alexander The Great atau Iskandar Zulkarnain yang dikisahkan Al Quran dalam surat Al Kahfi menaklukan Ya’juj dan Ma’juj ayat 86 dan 94 yang telah secara gegabah dipraktek bangsa-bangsa Barat modern menurut mitologi Promothean -- profan dan bukan atas inspirasi Illahiah serta demi penaklukan itu sendiri. Bila dalam kenyataannya Bung Karno melakukannya secara politik Anti Neo-imperialisme dan Neo-kolonialisme dan Suharto dengan politik Asean-nya yang sebetulnya dilakukan dalam semangat yang sama yakni watak bangsa nusantara yaitu dari kekuatan terhadap pengaruh yang landasannya adalah kekeluargaan dan kerja sama yang saling menguntungkan antara bangsa-bangsa Asia Tenggara.

Persoalan yang menghadang pertumbuhan bangsa-bangsa di Asia Tenggara atau kawasan yang terletak diantara dua benua karena itu disebut nusa antara atau nusantara, akan berulang. Menjadi ajang perebutan penguasaan bangsa-bangsa Barat maupun bangsa Mongol ketika Ku Bilai Khan mencoba menaklukan Majapahit. Terakhir dengan tidak terdengarnya lagi Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik yang dilangsir pada era Suharto menunjukkan watak politik kerjasama kekeluargaan yang saling menguntungkan itu kandas dihantam watak bangsa-bangsa penakluk.

 

Kendala Politik Ideologis


Negara-negara kebangsaan yang bermunculan pada abad ke 20 menentang kolonialisme dan imperialisme, dapat disebut sebagai salah satu pemicu pergerakan bangsa-bangsa terjajah khususnya di Asia dan Afrika. Pergerakan itu sendiri mendapat inspirasi dari Revolusi Perancis 1776 dengan slogan Kemerdekaan -- Liberte’, Kesetaraan -- Egalite’ dan Persaudaraan -- Fraternite’. Pada kenyataannya revolusi itu tidak berdiri sendiri yang tidak hanya disebabkan oleh ada kesenjangan sosial dan kemiskinan yang terjadi di masa itu; atau terbentuknya kelas sosial baru -- kaum berjuis -- yang mendapatkan harta yang berlimpah dari kemajuan teknologi industri yang telah semakin memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin; lalu mendapat prestise’ karena kehadiran mereka mendapat tempat ditengah jajaran kaum elite’ yang lahir dari tradisi kekuasaan dan kepahlawanan.

Selain itu berkembangan sekularisasi pengetahuan yang melepaskan diri dari otoritas agama. Pada masa itu dikenal nama-nama seperti Montesquieu (1689 - 1755) yang moderat dengan teori pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, Jean-Jacques Rousseau (1712 -1778) yang sangat radikal dengan teori kontrak sosialnya -- kekuasaan bukan dari Tuhan tetapi dari rakyat, dan Voltaire (1694 - 1778) dengan tulisan-tulisannya yang mengkritik Gereja Katolik. Gagasan mereka seolah melicinkan jalan bagi kaum berjuis untuk menunggangi revolusi.

Abad Pencerahan yang dibawa oleh Revolusi Perancis menimbulkan gelombang perubahan di Jerman, misalnya lahir  filsuf zaman Romantik bermula dari pandangan kehendak bebas (free will) dari Imanuel Kant, kesejatian ruh atau idealisme Hegel hingga yang materialis seperti Marx dan Engels. Begitu pula di Rusia, Revolusi Bolsyewik dapat disebut revolusi yang sesungguhnya, dibangun dalam wacana akademis, diprovokasi, melalui propaganda dan perjuangan kelas. Tentu berlainan dengan revolusi kaum berjuis di Perancis. Bibit-bibit ideologi yang disemai zaman Renaissance, dipupuk pada Revolusi Perancis dan mekar di Revolusi Bolsyewik.

Dengan demikian dapat ditandaskan, bahwa revolusi Indonesia menurut Pembukaan UUD ’45 adalah ”berkehidupan kebangsaan yang bebas” yang ”didorong keinginan luhur” (suci) dan tentunya ”atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Tidak ada setting kultural yang merujuk pada Revolusi Perancis. Apalagi untuk disebut perjuangan kelas, karena rakyatlah yang berjuang, merapatkan barisan, dan mereka pula yang membentuk Badan Kemanan Rakyat. Manunggal TNI dan rakyat dapat disebut mengukuhkan makna revolusi Indonesia.

Dan seperti dijelaskan terdahulu, ideologi-ideologi progresif karena watak kebebasan individunya ketika memasuki bumi nusantara dijinakkan oleh tradisi. Oljeitu dari dinasti Mongol di Sultaniyah Persia, cucu kelima Genghis Khan patut dijadikan cerita betapa bangsa penakluk Mongol dijinakkan tradisi, ia memeluk agama Islam. Kemudian dapat pula ditandaskan, meskipun dengan jalan keimanan maupun dengan jalan pengetahuan namun segalanya pasti akan bertemu pada Kebenaran Yang Satu tetapi kegegabahan zaman di masa itu terbukti membuka lembaran sejarah dunia yang baru. Sementara tradisi tetap langgeng dan sejuk yang senantiasa memberi inspirasi yang tidak akan pernah kering dalam sumber-Nya kepada mereka yang berniat.

Satu-satunya alasan kenapa harus berpanjang-lebar membicarakan ideologi, tiada lain karena cakrawala berpikir akan terkuak dari keyakinan. Tidak juga seperti ”kaca mata kuda” sebab keyakinan melalui jalan (mode) keimanan maupun pengetahuan adalah membebaskan. ”Eureka” (Aku telah menemukan), ujar Archimedes dengan amat senangnya, ketika beban yang menggayut di dalam pikirannya terkuak tatkala ia ada di bak mandi; Archimedes menemukan hukum berat jenis. Sedangkan jalan keimanan tentu dipraktekan dalam keagamaan guna mendapatkan makrifat, pencerahan, gnosis. Sesorang akan menemukan kedamaian, ketenteraman dan kebenaran di dalamnya Kebenaran, yang terkungkung di dalam dirinya (immanen) serta yang mengatasi dirinya (transenden). Berbagai tradisi memiliki dokrin dan metoda tersendiri tapi semuanya bersumber pada kesucian, Weda, Al Kitab, Al Quran serta melalui orang-orang suci (wali) yang menguntai berupa garis silsilah.

Kendala politik ideologis karena itu datang dari luar berupa ancaman dan pengaruh dan yang dari dalam berupa rongrongan dan penguasaan. Tetapi yang sangat memprihatinkan ketika Pancasila tidak lagi disebut-sebut dalam khazanah berbangsa dan bernegara, tidak ada ada lagi apa yang disebut yaitu pembangunan sebagai pengamalan Pancasila maka kendala  utama dewasa ini adalah sarana dan prasarana operasionalisasi Pancasila.

 

Pendidikan Bela Negara


Pancasila , itu subtansinya. Untuk melihat segala cahaya kebenaran menurut ”kaca mata” Indonesia. Tentu bukan ”kaca mata kuda” karena kebenaran ada dimana-mana. ”Kaca mata” itu bila boleh disitilahkan demikian, melihat kebenaran melalui kebenaran. Pancasila adalah Prinsip -- Tuhan yang Maha Esa -- dan yang lain selain diri-Nya adalah manifestasi; Ia-lah yang Absolut, yang lain adalah relatif; Ia-lah esensi yang dzati -- Ia itu sendiri, Tat Tvam Asi (Takunu Anta Dzaka), yang lain adalah bentuk-bentuk.

Berkah nusantara selalu menyerap bentuk-bentuk, mengembalikan kepada yang esensi. Selalu begitu akan terus begitu. Karenanya doktrin yang sangat memadai untuk menjelaskannya adalah kalimah berkah itu sendiri -- la illaha illa Allah. Untuk menghindari reaksi dari kalangan tertentu dalam agama, maka perlu dikutip bagian dari isi surat Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama: ”Semua agama Allah berbagai dan menghormati ajaran atau keyakinan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”.   Kitab Suci Al Quran menegaskan dalam surat Ali Imran ayat 64 : Wahai para ahli kitab, marilah kita berpegang pada suatu ketetapan antara aku dan kamu bahwa kita tidak akan menyembah kecuali Allah dan bahwa kita tidak akan menyekutukannya dengan sesuatu. Dan tidak pula kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan kecuali Allah dan jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka bahwa kami adalah orang-orang muslim.” Pada bagian lain dari suratnya itu Ahmadinejad menegaskan liberalisme dan demokrasi ala Barat gagal mewujudkan ide kemanusiaan. Bahwa nilai-nilai universal bisa membuka dialog, termasuk kandungan metafisis kalimat sahadat.

Lagi pula sejarah telah membuktikan keperkasaan dan kejayaan berbagai agama dan tradisi di Indonesia, sebelum kelahiran Negara Pancasila -- Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengenai ideologi progresif dimana liberalisme mendominasi hingga dewasa ini, para tokoh pekuang bangsa seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, ditangan mereka progresivisme itu dijinakkan. Ada HOS Cokroaminoto dengan gagasan Sosialisme Dalam Islam, Tan Malaka dengan Murba, Bung Karno dengan Marhaenisme, atau Bung Hatta dengan sosialisme Islamnya.

Persoalan Bela Negara adalah upaya untuk memelihara tradisi, pertumbuhan ideologi, membangun negeri dan menjaga kedaulatan rakyat dan bangsa. Itu saja.



Benteng Ideologi Pancasila


Paradigma Bahaya Kuning atau sindrom komunisme telah berlalu, tapi bahaya masih mengancam. Doktrin perang dari bangsa Roma ini kiranya patut disimak :  Si Vis Pacem Para Bellum,  ”kalau engkau mau damai, bersiaplah untuk berperang”.  Begitu pula orang bijak dari Cina, Tsun Szu berpetuah bahwa bila musuh tidak kelihatan bukan berarti mereka tidur tetapi kita harus waspada karena mereka justru sedang mempersiapkan penyerangan. Tetapi perbincangan bukan soal peperangan, lebih dari itu adalah persoalan ketahanan negara, kelestarian bangsa dan cita-citanya.

Bila itu persoalannya dan Pancasila sebagai paradigmanya serta sejarah sebagai acuannya maka terdapat tiga kekuatan formal yaitu partai politik, organisasi kemasyarakatan dan Tentara Nasional Indonesia. Tiga kekuatan tadi bahwa pertama mereka yang meyakini Pancasila -- Ketuhanan Yang Maha Esa memayunginya, dan kedua bahwa perspektif sejarah selalu diadudombakan (Devide Et Impera). Dua dari yang tiga serangkai tadi bila dilengkapi dengan analisis politik Bung Karno -- tiga kekuatan nasional yaitu nasionalis, agama dan sosialis -- maka terdapat ketiga serangkai tadi boleh jadi akan merujuk pada konstelasi politik nasional yang akan berlaku sepanjang masa. Akademisi sendiri adalah paradoks seperti ketika Partai Sosialis Indonesia yang populer itu ternyata kalah telak pada Pemilihan Umum 1955, artinya pemikiran-pemikiran akademik -- dalam politik -- hanya untuk konsumsi umum dan sebuah pembelajaran hanya berlansung dalam partisipasi, atau tepatnya bukan hanya dalam wacana. Akademisi cocoknya jadi pengamat.

Ketika Badan keamanan Rakyat dibentuk, dukungan rakyat atau partisan terhadap perjuangan rvolusi sangat besar. Khususnya dari kalangan terpelajar, guru dan kaum ulama, yang disebut terakhir banyak pula dari kalangan pengajar di pesantren. Posisinya baik secara kultural maupun teritorial sangat berarti hingga perang rakyat itu sangat penting artinya bagi sejarah Tentara Nasional Indonesia dan doktrin pertahanan dan keamanan negara.

Oleh karenanya mengingat kondisi bangsa ini sedang ”sakit” maka  PEKAT Indonesia Bersatu yang merupakan salah satu eksponen pertahanan negara, tentunya harus mengambil peranan penting dan terdepan dengan segala potensinya harus mampu mengamankan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Inonesia tanpa membeda-bedakan tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras muapun golongan. Missi pokoknya di dalam pertahanan ideologis adalah pembelajaran ideologis Pancasila, artinya tidak hanya dalam kegiatan sosial saja tetapi dalam pengamalan ditengah masyarakat, dan dengan strategi ketahanan budaya.

Sebelum reformasi, jutaan pasang mata di Indonesia melihat runtuhnya tembok Berlin yang menandai berakhirnya rezim Komunis Uni Soviet. Buah dari Glasnost (keterbukaan), Perestroika (restrukturisasi, dan democratiyatzia (demokratisasi). Hanya dalam berbilang bulan kemudian, negara persatuan USSR (Union of Soviet Socialist Republics) tercerai-berai. Menyusul kemudian negara-negara yang dulunya bersatu di dalam Cekoslavia dan Yugoslavia akhirnya bercerai-berai. Contoh-contoh tadi patut dibandingkan dengan Bhineka Tunggal Ika, tidak hanya di dalam konsep -- karena tidak sama dengan pluralisme yang hanya ”perbedaan” untuk ”perbedaan”, ada nilai yang menyatukan dan transenden (mengatasi) -- tapi dalam operasionalisasi pun memerlukan pemahaman utuh untuk mengartikulasikannya.

Penutup


Sebagai penutup disampaikan bahwa pembangunan bangsa dan watak bangsa adalah pembangunan yang berdasarkan Pancasila guna mewujudkan tujuan nasional yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan strategi budaya.

Politik kebudayaan Pancasila telah mendapat legitimasi di dalam setiap pengembangan pergerakan kebangsaan, demikian verbalisasi ideologi telah berlangsung paling tidak tiga dekade ketika pertentangan politik waktu itu mendesak agar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dijalankan secara murni dan konsekwen. Dengan demikian kegiatan pembinaan kehidupan berbangsa dan bernegara atau upaya pembangunan bangsa dan watak kebangsaan (Nation & Character Building) harus dilakukan secara terus menerus sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 secara langsung maupun tidak.

Manakala berhadapan dengan globalisme maka doktrin atau ajaran Pancasila akan bersuara terhadap kebudayaan dunia, terjadilah konvergensi. Dalam prakteknya konvergensi dan kosentris sebagai proses budaya berlangsung dalam simbol-simbol, seperti liberalisasi ekonomi pada aspirasi kebebasan petani dari cengkeraman tengkulak, dari para spekulan atau aspirasi kebebasan, demokrasi dan sebagainya. Selanjutnya mengenai konvergensi atau kembali ke akar budaya, karena berlangsung di dalam proses, tentu tindakan langsung yang operasional di lapangan harus dilakukan oleh PEKAT Indonesia Bersatu secara terencana, teratur, dan terstruktur.

Siapa kita? Kita, PEKAT Indonesia Bersatu.
NKRI Harga Mati !

____________________